Senin, 19 September 2016

Seandainya Kelak Aku Menjadi Jurnalis TV

Jurnalis adalah seorang wartawan yang tugasnya mencari berita. Itu adalah hal pertama yang terlintas dalam pikiranku mengenai profesi jurnalis sebelum aku menjadi seorang mahasiswa Program Studi Jurnalistik.
Profesi menjadi seorang jurnalis tidaklah sesederhana itu. Seorang jurnalis harus melewati berbagai rintangan untuk mendapatkan beritanya. Jurnalis juga harus mengorbankan banyak waktunya. Tak jarang dari mereka tidak pulang ke rumah hingga  berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan demi mendapatkan berita yang berkualitas, layak dan mungkin eksklusif.
Seperti yang dikutip dari buku Jurnalisme Dasar karya Luwi Ishwara, “Seseorang tidak berhenti menjadi wartawan setelah pukul 5 sore seperti layaknya orang yang bekerja di kantor. Peristiwa bisa pecah begitu saja dan kapan saja di luar keinginan manusia, bisa terjadi siang ataupun malam hari.”
Tak pernah terpikir olehku untuk masuk ke bidang jurnalistik sebelumnya, mempelajari ilmunya serta mempraktikkannya merupakan suatu pembelajaran yang berkesan dalam hidupku. Membuatku ingin menjadi seorang jurnalis, walaupun aku tahu untuk menjadi seorang jurnalis harus siap untuk memikul tanggung jawab yang besar.
Menurutku, menjadi seorang jurnalis itu harus memiliki mental baja dan tekad yang kuat.  Tidak boleh goyah walaupun terkadang masih ada pihak yang meremehkan profesi ini. Harus tetap teguh pada prinsip-prinsip jurnalisme agar dapat tercapainya tujuan dalam memberikan informasi yang akurat dan terpercaya kepada publik tanpa adanya kebohongan dan rekayasa.
Profesi jurnalis terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan bidangnya. Ada jurnalis televisi, jurnalis koran, junalis majalah, jurnalis radio dan jurnalis online. Namun apapun jenisnya, semua tetap memiliki tujuan dan tugas yang sama.
Seandainya kelak aku bisa menjadi seorang jurnalis, aku ingin menjadi seorang jurnalis di bidang pertelevisian. Menajadi seorang jurnalis atau reporter  yang mencari dan membacakan berita dengan cerdas, tegas serta lugas. Membacakan sekaligus memberi informasi yang jujur dan akurat berdasarkan fakta. Menjadi seorang jurnalis yang kritis dan bisa menjadi perantara suara-suara rakyat terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Menjadi seorang jurnalis yang adil tanpa memihak pada kubu tertentu.
Profesi jurnalis merupakan sebuah profesi yang mulia. Karena seorang jurnalis rela menghabiskan waktunya demi menyampaikan kebenaran serta kelayakan informasi kepada publik. Baik itu jurnalis televisi, koran, majalah, radio maupun online mereka semua berjasa. Tanpa adanyanya profesi ini kita tidak akan tahu berita apa yang terjadi baik itu di negara kita sendiri maupun di belahan dunia lain.

Sabtu, 17 September 2016

Sepenggal Kisah: Sosok Yang Kudambakan


     Ayah adalah sebutan seorang anak untuk orang tua laki-lakinya. Selain Ayah, masih banyak sebutan yang biasa aku dengar seperti Bapak, Papah, Abi, dan lainnya. Namun dari sekian banyaknya sebutan tersebut, tak pernah satu pun yang benar-benar keluar dari mulutku.
     Ayah, sosok yang tak bisa aku gambarkan. Bagaimana rupanya, bagaimana sifatnya, bagaimana pemikirannya aku tidak tahu. Aku hanya bisa menerka-nerka bagaimana rupa seorang Ayah dari cerita teman-temanku.
     Dari yang aku dengar sosok seorang Ayah adalah orang yang disegani dan berwibawa. Menjadi kepala keluarga yang menjaga dan melindungi keluarganya. Bekerja keras, banting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Menjadi panutan untuk anak-anakya. Dijadikan sosok pahlawan yang dibangga-banggakan oleh anak-anaknya, serta menjadi Imam yang baik di keluarganya.
     Rasanya senang ketika aku mendengar atau membaca tentang sosok yang dipanggil “Ayah”. Membuat aku bisa membayangkan bagaimana jika aku memiliki Ayah. Tepatnya, masih memiliki Ayah.
     Ayahku meninggal sejak aku berumur tiga bulan dalam kandungan Ibuku. Yang aku tahu dari cerita Ibuku, dia meninggal karena sakit batuk yang dideritanya. Ibuku memberitahu kalau Ayahku sama seperti Ayah lain pada umumnya seorang pekerja keras, baik, dan menyayangi keluarganya.  Tapi hanya sebatas itu yang aku tahu, karena aku tak sanggup jika harus melihat kesedihan yang tergurat di wajah Ibu lagi ketika menceritakan Ayahku. Hanya sebuah foto lama yang bisa memberitahuku bagaimana wajah Ayah.
     Sepeninggalan Ayah, Ibuku mengambil alih tanggung jawab yang biasa disematkan pada seorang Ayah. Seperti mencari nafkah, menjaga, melindungi, membimbing serta memberikan kasih sayang, walaupun rasanya akan berbeda jika didapat dari sosok seorang Ayah yang sebenarnya.
     Aku ingat ada temanku yang bercerita kalau Ayahnya overprotective padanya. Pergi ke sana tidak boleh, pergi ke sini tidak boleh, pulang tidak boleh larut, jika temanku belum sampai rumah akan dihubungi terus-menerus, tak jarang pula temanku itu dimarahi. Membuatnya benci terhadap Ayahnya karena merasa dikekang. Ketika aku mendengar ceritanya rasanya menyelekit di hati.  Betapa irinya aku, ingin rasanya aku mendapat perlakuan seperti itu dari orang yang aku panggil Ayah. Pernah terlintas dalam pikiranku kenapa Allah tidak adil padaku. Aku yang sangat mendambakan sosok Ayah dalam hidupku, tidak dapat merasakan kehadirannya, bahkan hanya memanggilnya Ayah pun tidak sempat. Di sisi lain temanku yang masih diberi kesempatan untuk mendapatkan kasih sayang, perlindungan, serta memanggilnya Ayah menyia-nyiakan dan malah membencinya.
     Namun, sekaran aku menyadari bahwa semua ini adalah suratan takdir yang tidak bisa kuhindari atau kutolak. Mungkin ini adalah skenario terbaik yang Allah berikan pada hidupku. Aku bersyukur walaupun aku tidak sempat merasakan kehadiran seorang Ayah, masih ada sosok Ibu yang rela banting tulang, mengambil alih kewajiban Ayah, demi memberikan yang terbaik untukku dengan caranya sendiri. 
Diberdayakan oleh Blogger.