Rabu, 19 Oktober 2016

Cerpen: Kehidupan yang Bodoh

Hidupku terasa kacau. Rasanya aku ingin mati saja. Bisakah aku melanjutkan hidup ini?
 ...
     Sore itu aku pulang seperti biasa ke rumah dengan berjalan kaki. Walaupun jarak dari rumahku dan sekolah lumayan jauh, aku tetap berjalan kaki karena aku tidak memiliki uang untuk naik bus. Jangankan untuk naik bus, untuk membeli makan siang pun tak ada.
Namaku Hani, aku adalah seorang anak tunggal yang memiliki Ayah idiot, yang suka judi, mabuk dan Ibu bodoh, yang pekerja keras. Mungkin aku terdengar kurang ajar kepada kedua orang tuaku, tapi aku tidak bisa memungkiri kenyataan yang ada.
     Ya, Ayahku itu idiot, tepatnya Ayah tiri yang idiot. Bagaimana tidak idiot dia sudah sering kalah dalam judi, tapi dia terus saja ikut berjudi dengan menjual barang-barang dirumah atau meminjam uang pada rentenir. Selain doyan judi dia juga doyan mabuk. Setelah berjudi dia akan pulang ke rumah dengan keadaan mabuk.
     Sedangkan Ibuku, dia memang pekerja keras. Dia rela membanting tulang agar keluarganya bisa makan setiap hari, agar aku dapat bersekolah dengan baik dan aku benar-benar sangat menyayanginya. Namun, dia itu bodoh. Bodoh karena dengan kebodohannya itu, dia  tetap setia kepada si Idiot tukang mabuk dan judi itu. Dia terima saja di maki-maki si Idiot jika uang hasil kerjanya kurang untuk dibawa ke meja judi. Bahkan dia terima saja jika dipukuli si Idiot itu ketika pulang ke rumah dalam keadaan mabuk dan marah karena kalah berjudi.
     Aku pernah mengajak Ibu untuk kabur saja dari rumah, tapi Ibu tidak mau meninggalkan rumah karena rumah ini adalah satu-satunya peninggalan kakek dan nenekku sebelum mereka meninggal. Ibuku sangat menjaga rumah ini agar tidak dijual si Idiot itu, karena apabila dia meninggal tidak ada lagi yang bisa dia wariskan kepadaku. Maka dari itu dia rela bekerja keras banting tulang demi mempertahankan rumah ini. Saat itu aku menangis sejadi-jadinya. Betapa menyedihkannya nasib keluargaku.
     ...
     Aku selalu sampai di rumah ketika langit sudah malam, aku memandang ke sekeliling rumah. Begitu sepi dan dingin rumah ini. Tidak banyak barang di rumahku karena sebagian besar sudah dibawa si idiot ke meja judi atau diambil rentenir. 
     Biasanya Ibu sudah pulang jam segini, aku memanggilnya tapi tidak ada jawaban. Aku ke dapur, mungkin saja ibu sedang memasak jadi tidak mendengar panggilanku, tapi Ibu tidak ada. Lalu aku berjalan menuju kamarnya, mungkin dia sedang tidur. Aku membuka pintu perlahan agar tidak membangunkan Ibu, tapi yang aku lihat bukan Ibu yang sedang tidur, tapi Ibu yang sedang tergeletak di lantai.
     Ibuku bergeser mencoba untuk bersandar di dinding kamar. Dengan wajah babak belur dihiasi darah yang masih segar, dia melihatku dan tersenyum sambil berkata, “Rupanya kau sudah pulang nak.” 
     Aku sudah tak tahan lagi, aku langsung menghampiri Ibu dan memeluknya. Air mataku mengalir dengan derasnya. Aku tahu ini pasti ulah si Idiot itu, dasar pengecut berengsek. Rasanya aku ingin membunuhnya.
     Aku mengobati luka Ibu dengan berlingang air mata penyesalan dan kekesalan. Ibuku menghapus air mataku dengan Ibu jarinya sambil berkata, “Jadilah orang yang pintar dan berguna agar tidak seperti Ibu atau Ayahmu.” Aku juga tidak mau seperti si Idiot itu.
    “Jangan dendam padanya. Ibu yang salah karena memilih pria itu sebagai Ayahmu. Ibu pantas mendapatkannya,” tambahnya, air mata mengalir di pipinya. Dia benar-benar bodoh. Wanita bodoh yang sangat kusayangi.
 ...
     Aku mencoba menjalani masa sekolahku dengan normal. Aku ingin cepat lulus dari sekolahku dan mencari pekerjaan, aku ingin meringankan beban Ibu. Aku akan mencari uang yang banyak dan aku pastikan akan membawa Ibu bersamaku menjauh dari si idiot itu atau kalau perlu akan kukirim si Idiot itu ke penjara. Apa sekalian kukirim ke neraka saja?
 ...
     Hari itu aku pulang lebih larut karena ada  pelajaran tambahan untuk para siswa tingkat akhir. Ya, sebentar lagi. Tunggu aku Ibu, aku akan mencari pekerjaan dan mencari uang yang banyak untukmu.
     Sesampainya di rumah suasana hening menyambutku. Terlalu hening. Lampu di dalam rumah juga tidak menyala. Apa Ibu belum pulang? Aku cepat-cepat masuk ke rumah karena udara di luar sangat dingin. Ketika aku menyalakan lampu betapa terkejutnya aku, rumah berantakan dan ada bercak darah dimana-mana. Pertama yang terbesit dalam otakku adalah Ibu.  Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliking rumah. Aku menemukan Ibu sudah tergeletak tak berdaya di sudut ruangan dengan darah yang mengalir dari kepalanya.
     Ibu!! Tidak.. tidak..! Jangan tinggalkan aku ibu! Racauku dalam hati sambil menahan tangis. Aku berusaha berteriak untuk meminta pertolongan tapi suaraku tak keluar. Aku terlalu terkejut dan takut. Aku memegang titik nadi di tangannya. Sudah tidak ada.
    "Tidak.. Ibu.. Aku mohon..” ucapku lirih. Aku mencoba mengguncang-guncangkan tubuh Ibuku yang lemah itu berharap dia kembali, tapi semua tidak terjadi seperti yang aku harapkan. Isakan keluar dari mulutku aku menangis tanpa ada suara yang ke luar. Aku memeluk kepala Ibuku yang bersimbah darah itu. Sakit. Sungguh sakit hatiku.
     Lalu tak lama aku mendengar suara barang dibanting dari dalam kamar Ibu. Tanpa berpikir panjang aku langsung mendatangi asal suara dengan membawa pecahan vas yang ada di lantai. Seperti dugaanku. Si Idiot. Dia sedang mengobrak-abrik barang-barang milik Ibu.
     “Apa kau yang melakukannya?” tanyaku dengan suara datar. Dia berbalik. Dia terlihat sedikit terkejut namun ekspresi itu langsung berubah menjadi sebuah senyuman licik.
     “Apa dia sudah mati? Haha akhirnya. Oh ya, apa kautahu dia menyembunyikan surat-surat rumah ini di mana? Aku sudah mencarinya kemanapun tetap tidak ketemu juga,” ucapnya dengan enteng.
     Amarahku mulai memuncak. Aku menggeretakkan gigiku. Genggamanku mengerat pada pecahan vas yang kubawa, kurasakan pecahan vas itu menembus  telapak tanganku. Darah mengalir dari tanganku tapi aku tak peduli lagi pada rasa sakit.
     “Sialan, di mana jalang itu menyembunyikannya,” ucapnya masih sambil mencari di laci dalam lemari.
    Rasa amarah yang menguasaiku benar-benar sudah melebihi puncaknya. Aku melihat dia dengan tajam, tapi dia tidak memperhatikanku, dia tetap mencoba mencari tempat Ibuku menyembunyikan surat-surat rumah.
     Aku berjalan ke arahnya dengan langkah cepat, aku menarik bahunya agar dia menghadapku, dan kutusukkan pecahan vas itu ke arah perutnya. Kucabut pecahan vas itu lalu kutusukkan lagi di tempat yang sama, berulang kali kuayunkan pecahan vas itu ke arah perutnya sampai dia tidak berdaya dan merosot dihadapanku dengan bersibah darah.
Bibir dan tanganku bergetar, air mataku menetes, aku berjalan mundur dan menjatuhkan pecahan kaca itu. Aku mengis. Menangis sejadi-jadinya sambil berteriak. Berakhir sudah hidupku.
 ...
     Sebelum sang surya menyinari bumi, aku membawa mayat Ibuku untuk kukuburkan di halaman belakang rumah kami. Maafkan aku Ibu.  aku tidak bisa menjadi orang yang berguna, aku tidak bisa menjadi orang yang kaubanggakan. Aku juga tidak bisa menahan diriku untuk membunuh dia. Maafkan aku Ibu, maafkan aku. Aku akan menebusnya. Aku tidak akan menjadi pengecut seperti si Idiot itu.
 ...
     Aku berjalan ke kantor polisi terdekat dengan bercak darah dan tanah di sekujur tubuhku. Semua orang di jalan memperhatikanku, melihatku dengan tatapan aneh. Aku tidak bisa menafsirkan tatapan apa itu. Takutkah? Jijik kah? Atau kasihan kah? Aku tidak peduli. Hidupku sudah hancur dan aku akan menebusnya sekarang.
     Aku menatap langit, langit pagi ini begitu cerah berbanding terbalik dengan keadaanku yang suram. Ibu, Aku berjanji kelak bila aku diberi kesempatan hidup kembali, aku akan menjadi orang yang Ibu harapkan dan banggakan. Aku berjanji.



Cerpen pertama penulis hohoho. Gimana? Jelek ya? haha. Sudah kuduga...
Ceritanya pengen ngangkat temanya tentang pembunuhan alhasil jadi begini hahaah. 
Yahh... namanya juga baru belajar :)
Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca cerpen abal ini ^_^

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.