Hidupku terasa kacau. Rasanya aku
ingin mati saja. Bisakah aku melanjutkan hidup ini?
Sore itu aku pulang seperti biasa
ke rumah dengan berjalan kaki. Walaupun jarak dari rumahku dan sekolah lumayan
jauh, aku tetap berjalan kaki karena aku tidak memiliki uang untuk naik bus.
Jangankan untuk naik bus, untuk membeli makan siang pun tak ada.
Namaku Hani, aku adalah seorang
anak tunggal yang memiliki Ayah idiot, yang suka judi, mabuk dan Ibu bodoh, yang
pekerja keras. Mungkin aku terdengar kurang ajar kepada kedua orang tuaku, tapi
aku tidak bisa memungkiri kenyataan yang ada.
Ya, Ayahku itu idiot, tepatnya Ayah
tiri yang idiot. Bagaimana tidak idiot dia sudah sering kalah dalam judi, tapi dia
terus saja ikut berjudi dengan menjual barang-barang dirumah atau meminjam uang
pada rentenir. Selain doyan judi dia juga doyan mabuk. Setelah berjudi
dia akan pulang ke rumah dengan keadaan mabuk.
Sedangkan Ibuku, dia memang pekerja keras. Dia
rela membanting tulang agar keluarganya bisa makan setiap hari, agar aku dapat
bersekolah dengan baik dan aku benar-benar sangat menyayanginya. Namun, dia itu
bodoh. Bodoh karena dengan kebodohannya itu, dia tetap setia kepada si Idiot tukang mabuk dan
judi itu. Dia terima saja di maki-maki si Idiot jika uang hasil kerjanya kurang
untuk dibawa ke meja judi. Bahkan dia terima saja jika dipukuli si Idiot itu ketika
pulang ke rumah dalam keadaan mabuk dan marah karena kalah berjudi.
Aku pernah mengajak Ibu untuk kabur saja dari
rumah, tapi Ibu tidak mau meninggalkan rumah karena rumah ini adalah
satu-satunya peninggalan kakek dan nenekku sebelum mereka meninggal. Ibuku
sangat menjaga rumah ini agar tidak dijual si Idiot itu, karena apabila dia
meninggal tidak ada lagi yang bisa dia wariskan kepadaku. Maka dari itu dia
rela bekerja keras banting tulang demi mempertahankan rumah ini. Saat itu aku
menangis sejadi-jadinya. Betapa menyedihkannya nasib keluargaku.
...
Aku selalu sampai di rumah ketika
langit sudah malam, aku memandang ke sekeliling rumah. Begitu sepi dan dingin
rumah ini. Tidak banyak barang di rumahku karena sebagian besar sudah dibawa
si idiot ke meja judi atau diambil rentenir.
Biasanya Ibu sudah pulang jam
segini, aku memanggilnya tapi tidak ada jawaban. Aku ke dapur, mungkin saja ibu
sedang memasak jadi tidak mendengar panggilanku, tapi Ibu tidak ada. Lalu aku
berjalan menuju kamarnya, mungkin dia sedang tidur. Aku membuka pintu perlahan
agar tidak membangunkan Ibu, tapi yang aku lihat bukan Ibu yang sedang tidur,
tapi Ibu yang sedang tergeletak di lantai.
Ibuku bergeser mencoba untuk bersandar
di dinding kamar. Dengan wajah babak belur dihiasi darah yang masih segar, dia
melihatku dan tersenyum sambil berkata, “Rupanya kau sudah pulang nak.”
Aku sudah tak tahan lagi, aku
langsung menghampiri Ibu dan memeluknya. Air mataku mengalir dengan derasnya.
Aku tahu ini pasti ulah si Idiot itu, dasar pengecut berengsek. Rasanya aku
ingin membunuhnya.
Aku mengobati luka Ibu dengan berlingang air
mata penyesalan dan kekesalan. Ibuku menghapus air mataku dengan Ibu jarinya
sambil berkata, “Jadilah orang yang pintar dan berguna agar tidak seperti Ibu
atau Ayahmu.” Aku juga tidak mau seperti si Idiot itu.
“Jangan dendam padanya. Ibu yang
salah karena memilih pria itu sebagai Ayahmu. Ibu pantas mendapatkannya,” tambahnya,
air mata mengalir di pipinya. Dia benar-benar bodoh. Wanita bodoh yang sangat
kusayangi.
Aku mencoba menjalani masa
sekolahku dengan normal. Aku ingin cepat lulus dari sekolahku dan mencari
pekerjaan, aku ingin meringankan beban Ibu. Aku akan mencari uang yang banyak
dan aku pastikan akan membawa Ibu bersamaku menjauh dari si idiot itu atau
kalau perlu akan kukirim si Idiot itu ke penjara. Apa sekalian kukirim ke
neraka saja?
Hari itu aku pulang lebih larut
karena ada pelajaran tambahan untuk para siswa tingkat akhir. Ya, sebentar lagi. Tunggu aku Ibu, aku akan mencari
pekerjaan dan mencari uang yang banyak untukmu.
Sesampainya di rumah suasana
hening menyambutku. Terlalu hening. Lampu di dalam rumah juga tidak menyala.
Apa Ibu belum pulang? Aku cepat-cepat masuk ke rumah karena udara di luar
sangat dingin. Ketika aku menyalakan lampu betapa terkejutnya aku, rumah
berantakan dan ada bercak darah dimana-mana. Pertama yang terbesit dalam otakku adalah Ibu. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliking
rumah. Aku menemukan Ibu sudah tergeletak tak berdaya di sudut ruangan dengan
darah yang mengalir dari kepalanya.
Ibu!! Tidak.. tidak..! Jangan
tinggalkan aku ibu! Racauku dalam hati sambil menahan tangis. Aku berusaha
berteriak untuk meminta pertolongan tapi suaraku tak keluar. Aku terlalu
terkejut dan takut. Aku memegang titik nadi di tangannya. Sudah tidak ada.
"Tidak.. Ibu.. Aku mohon..”
ucapku lirih. Aku mencoba mengguncang-guncangkan tubuh Ibuku yang lemah itu
berharap dia kembali, tapi semua tidak terjadi seperti yang aku harapkan. Isakan
keluar dari mulutku aku menangis tanpa ada suara yang ke luar. Aku memeluk
kepala Ibuku yang bersimbah darah itu. Sakit. Sungguh sakit hatiku.
Lalu tak lama aku mendengar suara
barang dibanting dari dalam kamar Ibu. Tanpa berpikir panjang aku langsung mendatangi
asal suara dengan membawa pecahan vas yang ada di lantai. Seperti dugaanku. Si Idiot. Dia sedang mengobrak-abrik barang-barang milik Ibu.
“Apa kau yang melakukannya?”
tanyaku dengan suara datar. Dia berbalik. Dia terlihat sedikit terkejut namun
ekspresi itu langsung berubah menjadi sebuah senyuman licik.
“Apa dia sudah mati? Haha
akhirnya. Oh ya, apa kautahu dia menyembunyikan surat-surat rumah ini di mana? Aku
sudah mencarinya kemanapun tetap tidak ketemu juga,” ucapnya dengan enteng.
Amarahku mulai memuncak. Aku
menggeretakkan gigiku. Genggamanku mengerat pada pecahan vas yang kubawa, kurasakan
pecahan vas itu menembus telapak tanganku.
Darah mengalir dari tanganku tapi aku tak peduli lagi pada rasa sakit.
“Sialan, di mana jalang itu
menyembunyikannya,” ucapnya masih sambil mencari di laci dalam lemari.
Rasa amarah yang
menguasaiku benar-benar sudah melebihi puncaknya. Aku melihat dia dengan tajam, tapi dia tidak memperhatikanku, dia tetap mencoba mencari tempat Ibuku
menyembunyikan surat-surat rumah.
Aku berjalan ke arahnya dengan
langkah cepat, aku menarik bahunya agar dia menghadapku, dan kutusukkan pecahan
vas itu ke arah perutnya. Kucabut pecahan vas itu lalu kutusukkan lagi di
tempat yang sama, berulang kali kuayunkan pecahan vas itu ke arah perutnya
sampai dia tidak berdaya dan merosot dihadapanku dengan bersibah darah.
Bibir dan tanganku bergetar, air
mataku menetes, aku berjalan mundur dan menjatuhkan pecahan kaca itu. Aku
mengis. Menangis sejadi-jadinya sambil berteriak. Berakhir sudah hidupku.
Sebelum sang surya menyinari bumi,
aku membawa mayat Ibuku untuk kukuburkan di halaman belakang rumah kami.
Maafkan aku Ibu. aku tidak bisa menjadi
orang yang berguna, aku tidak bisa menjadi orang yang kaubanggakan. Aku juga
tidak bisa menahan diriku untuk membunuh dia. Maafkan aku Ibu, maafkan aku. Aku
akan menebusnya. Aku tidak akan menjadi pengecut seperti si Idiot itu.
Aku berjalan ke kantor polisi
terdekat dengan bercak darah dan tanah di sekujur tubuhku. Semua orang di jalan
memperhatikanku, melihatku dengan tatapan aneh. Aku tidak bisa menafsirkan
tatapan apa itu. Takutkah? Jijik kah? Atau kasihan kah? Aku tidak peduli.
Hidupku sudah hancur dan aku akan menebusnya sekarang.
Aku menatap langit, langit pagi
ini begitu cerah berbanding terbalik dengan keadaanku yang suram. Ibu, Aku
berjanji kelak bila aku diberi kesempatan hidup kembali, aku akan menjadi orang
yang Ibu harapkan dan banggakan. Aku berjanji.
Cerpen pertama penulis hohoho. Gimana? Jelek ya? haha. Sudah kuduga...
Ceritanya pengen ngangkat temanya tentang pembunuhan alhasil jadi begini hahaah.
Yahh... namanya juga baru belajar :)
Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca cerpen abal ini ^_^
Ntap dah pkoknya
BalasHapusbagus banget.. Duh bikin part 2 nih harusnya wkwk
BalasHapus