Sabtu, 17 September 2016

Sepenggal Kisah: Sosok Yang Kudambakan


     Ayah adalah sebutan seorang anak untuk orang tua laki-lakinya. Selain Ayah, masih banyak sebutan yang biasa aku dengar seperti Bapak, Papah, Abi, dan lainnya. Namun dari sekian banyaknya sebutan tersebut, tak pernah satu pun yang benar-benar keluar dari mulutku.
     Ayah, sosok yang tak bisa aku gambarkan. Bagaimana rupanya, bagaimana sifatnya, bagaimana pemikirannya aku tidak tahu. Aku hanya bisa menerka-nerka bagaimana rupa seorang Ayah dari cerita teman-temanku.
     Dari yang aku dengar sosok seorang Ayah adalah orang yang disegani dan berwibawa. Menjadi kepala keluarga yang menjaga dan melindungi keluarganya. Bekerja keras, banting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Menjadi panutan untuk anak-anakya. Dijadikan sosok pahlawan yang dibangga-banggakan oleh anak-anaknya, serta menjadi Imam yang baik di keluarganya.
     Rasanya senang ketika aku mendengar atau membaca tentang sosok yang dipanggil “Ayah”. Membuat aku bisa membayangkan bagaimana jika aku memiliki Ayah. Tepatnya, masih memiliki Ayah.
     Ayahku meninggal sejak aku berumur tiga bulan dalam kandungan Ibuku. Yang aku tahu dari cerita Ibuku, dia meninggal karena sakit batuk yang dideritanya. Ibuku memberitahu kalau Ayahku sama seperti Ayah lain pada umumnya seorang pekerja keras, baik, dan menyayangi keluarganya.  Tapi hanya sebatas itu yang aku tahu, karena aku tak sanggup jika harus melihat kesedihan yang tergurat di wajah Ibu lagi ketika menceritakan Ayahku. Hanya sebuah foto lama yang bisa memberitahuku bagaimana wajah Ayah.
     Sepeninggalan Ayah, Ibuku mengambil alih tanggung jawab yang biasa disematkan pada seorang Ayah. Seperti mencari nafkah, menjaga, melindungi, membimbing serta memberikan kasih sayang, walaupun rasanya akan berbeda jika didapat dari sosok seorang Ayah yang sebenarnya.
     Aku ingat ada temanku yang bercerita kalau Ayahnya overprotective padanya. Pergi ke sana tidak boleh, pergi ke sini tidak boleh, pulang tidak boleh larut, jika temanku belum sampai rumah akan dihubungi terus-menerus, tak jarang pula temanku itu dimarahi. Membuatnya benci terhadap Ayahnya karena merasa dikekang. Ketika aku mendengar ceritanya rasanya menyelekit di hati.  Betapa irinya aku, ingin rasanya aku mendapat perlakuan seperti itu dari orang yang aku panggil Ayah. Pernah terlintas dalam pikiranku kenapa Allah tidak adil padaku. Aku yang sangat mendambakan sosok Ayah dalam hidupku, tidak dapat merasakan kehadirannya, bahkan hanya memanggilnya Ayah pun tidak sempat. Di sisi lain temanku yang masih diberi kesempatan untuk mendapatkan kasih sayang, perlindungan, serta memanggilnya Ayah menyia-nyiakan dan malah membencinya.
     Namun, sekaran aku menyadari bahwa semua ini adalah suratan takdir yang tidak bisa kuhindari atau kutolak. Mungkin ini adalah skenario terbaik yang Allah berikan pada hidupku. Aku bersyukur walaupun aku tidak sempat merasakan kehadiran seorang Ayah, masih ada sosok Ibu yang rela banting tulang, mengambil alih kewajiban Ayah, demi memberikan yang terbaik untukku dengan caranya sendiri. 

7 komentar:

  1. Tulisannya membuat air mataku menetes.. insya allah, allah sudah mengatur semua jalan umatnya. fix kangen banget ayuni :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasiihh lala, udah nyempetin baca tulisan-tulisan akuu.. iya aku juga kangen laa :(

      Hapus
  2. wahh keren tulisannya.
    Pembaca sampai bisa merasakan emosi yang kamu tuangkan.. :(
    Good luck Ayuni..
    Semangat yaa!! kamu pasti bisa membahagiakan Ibu kamu.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waahh Terima kasih banyak atas pujiannya Aji.. Aamiin :))

      Hapus
  3. Sumpah Ga Boong. Bacanya Sampe Kebawa Emosi Gituu....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe terima kasih banyak atas pujian dan waktunya untuk membaca tulisan-tulisan di blog ini :)

      Hapus
  4. Artikelnya bkin inget sama Alm Ayahkuu

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.